Pembukaan
lahan dengan menebang pohon dapat saja dikatakan sebagai kearifan lokal yang
perlu dijadikan pelajaran. Namun, pelajaran yang diambil di sini adalah sebab
dan akibat dari pembukaan lahan tersebut; bukan pelajaran yang patut untuk
dicontoh.Hingga kini, banyak oknum yang beralasan untuk membuka lahan dengan
cara menebang pohon karena keterbasan lahan pertanian maupun pemukiman di kota.
Padahal, pembukaan lahan dengan seperti ini sangatlah merugikan. Pohon sangat berguna
bagi kehidupan manusia dan hewan; mencegah terjadinya banjir, tanah longsor,
menetralisir polusi udara, menjadi rumah bagi banyak hewan, dan masih banyak
lagi. Setelah mengetahui sebab dan akibat yang akan diperoleh dari penebangan
hutan, harusnya kita dapat menyediakan alternatif lain untuk sebab terjadinya
penebangan hutan tanpa menciptakan akibat lain yang merugikan. Pemerintah telah
menjawab hal tersebut dengan di buatnya Rusun atau Rumah Susun untuk
penyelesaian keterbatasan lahan bagi pemukiman. Lagipula kita juga dapat
bercocok tanam dengan cara hidroponik atau aeroponik(walau belum bisa
diterapkan untuk semua tanaman) namun seharusnya kita dapat mengurangi
aktivitas pembukaan lahan dengan menebang pohon.
Selanjutnya,
pendapat saya tentang pembukaan lahan dengan membakar hutan adalah tidak
setuju. Alasannya sama dengan alasan diatas, bahkan lebih parah karena pembukaan
lahan dengan membakar hutan akan memimbulkan akibat yang lebih banyak termasuk
kemungkinan akan membunuh manusia atau hewan langka karena kebakaran. Pembukaan
lahan dengan membakar hutan juga akan menyebabkan polusi udara dan kabut.
Permasalah ini juga akan memicu resiko kecelakan bermotor, sulitnya
beraktifitas, sesak napas, dan berbagai penyakit yang menyerang saluran
pernapasan. Jadi kesimpulan yang dapat saya sampaikan adalah bahwa seharusnya
pembukaan lahan dengan penebangan pohon ataupun pembakaran hutan tidak lagi di
butuhkan jika masih ada alternatif lain yang lebih bijaksana dan tidak
menyebabkan akibat negatif bagi kehidupan kita. Berbeda dengan manusia purba
zaman dahulu, kita sekarang sebagai orang berpendidikan yang tentu akan memlih
jalan terbaik yang tidak akan menyebabkan masalah bersama untuk manusia dan
tidak mengambil jalan pintas.
Pola
tempat tinggal dengan bercocok tanam berhubungan erat. Setelah
peralihan zaman Mesolitikum ke Neolitikum menandakan adanya revolusi kebudayaan
dari food gathering ke food producing dengan Homo sapien sebagai pendukungnya.
Saat mulai bercocok tanam, mereka mulai mencoba memiliki tempat tinggal. Adapun,
pola tempat tinggal dengan dengan bercocok tanaman adalah sebagai berikut. Manusia
purba yang tinggal di dataran bercocok tanam padi. Yang tinggal di lahan miring
landai bersawah, berkebun (teh, kopi, dsb). Yang tinggal di lahan miring
berkebun sayur. Yang tinggal di lahan terjal
berkebun tanaman keras / tahunan (kelawa sakit, dsb). Yang tinggal di
dekat sungai bertanam tanaman buah.
1.
Kapak Lonjong
Kapak
lonjong adalah kapak yang berpenampang lonjong, berasal dari kebudayaan zaman neolitikum. Permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.
Sebagian
besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan warnanya kehitam-hitaman. Bentuk
keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip
menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya diasah hingga tajam. Fungsi
kapak lonjong yaitu sebagai cangkul/pacul. Banyak ditemukan di Irian, Seram,
Gorong, Tanimbar, Leti, Minahasa dan Serawak.
2.
Kapak Persegi
3.
Flakes
Manusia
purba banyak tinggal di tepi sungai karena air sungai memberikan banyak manfaat
dan merupakan kebutuhan pokok manusia. Bukan hanya dibutuhkan manusia, tapi air
juga dibutuhkan tumbuhan dan binatang, ketersedian air di sungai mengundang
hadirnya binatang untuk hidup disekitarnya dan juga memberkan kesuburan pada
tumbuhan. Tumbuhan dan binatang inilah yang juga menjadi sumber makanan manusia
purba sehinga mereka memilih tinggal di dekat sungai untuk memenuhi
kebutuhannya. Alasan lainnya adalah karena keberadaan air juga dimanfaatkan
manusia sebagai sarana penghubung, melalu sungai inilah manusia purba dapat
melakukan mobilitas atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dari suatu tempat ke tempat lainnya.
Pola
nomaden manusia purba yaitu pola berpindah pindah dari suatu tempat ke tempat yang
lain saat manusia purba tersebut merasa di tempat tersebut mulai berkurang
sumber bahan makanan. Biasanya manusia purba mencari lingkungan dekat sungai,
danau, atau sumber air lainnya.
Manusia
purba juga memasuki fase bertempat tinggal sementara, misalnya di gua karena
gua merupakan tempat yang hangat dan baik untuk perlindungan dari cuaca, hewan
buas dan ancaman lainnya karena mereka bertempat tinggal di tempat
yang mereka rasa aman, dekat dengan bahan makanan.
Manusia
purba memilih tinggal di tepi pantai karena pantai dekat dengan sumber makanan dan
air. Biasanya di pantai juga terdapat goa-goa yang bisa dimanfaatkan sebagai
tempat tinggal dan jauh dari binatang
(darat) yang buas.
Kaitan
antara manusia yang sudah bertempat tinggal tetap dengan adanya sistem
kepercayaan adalah setelah mereka bertempat tinggal tetap, mereka menyadari
adanya kehidupan setelah mati. Sistem kepercayaan itulah yang telah melahirkan
tradisi megalitik mereka mendirikan batu-batu besar seperti dolmen, punden
berundak dan sarkofagus. Mereka sadar adanya kekuatan lain yang maha kuat
diluar dirinya, kepercayaan kehidupan setelah mati setelah mati. Kepercayaan
yang berkembang saat itu adalah kepercayaan animisme (kepercayaan memuja roh
nenek moyang), dan dinamisme (kepercayaan kepada benda-benda tertentu yang
memiliki kekuatan gaib).
Sistem
kepercayaan masyarakat juga berhubungan dengan pola mata pencaharian. Seiring
perkembangan pelayaran, masyarakat zaman praaksara akhir juga mulai mengenal
sedekah laut. Sudah barang tentu kegiatan upacara ini lebih banyak dikembangkan
di kalangan nelayan. Bentuknya mungkin semacam selamatan apabila berlayar jauh
atau mungkin saat pembuatan perahu.
Tradisi
megalitik yang masih tersisa contohnya adalah sedekah laut. Sedekah laut
merupakan bagian ritual yang pada saat ini yang masih tertinggal dalam lingkup
keberlangsungan hidup nelayan. Ritual sedekah laut sangat kental terasa di
wilayah Jawa khususnya Pantai Selatan Jawa. Ritual sedekah laut dikenal pada
masyarakat awam Jawa dengan definisi pemberian macam-macam sesaji kepada yang
mbau rekso atau yang menguasai laut selatan yang dikenal dengan sebutan kanjeng
ratu kidul, sebagai bentuk rasa syukur (berterima kasih) atas rejeki laut dan
keselamatan yang telah diterima saat melaut.
Di daerah Cirebon dan Cilacap tradisi sedekah
laut diadakan setiap setahun sekali yaitu pada bulan Sura (nama salah satu
bulan pada tanggalan jawa) atau Muharam (nama salah satu bulan pada tanggalan
islam) bertepatan dengan hari Jum’at kliwon atau Selasa kliwon.