Friday, 24 October 2014

TUGAS SEJARAH INDONESIA KELAS X

Pembukaan lahan dengan menebang pohon dapat saja dikatakan sebagai kearifan lokal yang perlu dijadikan pelajaran. Namun, pelajaran yang diambil di sini adalah sebab dan akibat dari pembukaan lahan tersebut; bukan pelajaran yang patut untuk dicontoh.Hingga kini, banyak oknum yang beralasan untuk membuka lahan dengan cara menebang pohon karena keterbasan lahan pertanian maupun pemukiman di kota. Padahal, pembukaan lahan dengan seperti ini sangatlah merugikan. Pohon sangat berguna bagi kehidupan manusia dan hewan; mencegah terjadinya banjir, tanah longsor, menetralisir polusi udara, menjadi rumah bagi banyak hewan, dan masih banyak lagi. Setelah mengetahui sebab dan akibat yang akan diperoleh dari penebangan hutan, harusnya kita dapat menyediakan alternatif lain untuk sebab terjadinya penebangan hutan tanpa menciptakan akibat lain yang merugikan. Pemerintah telah menjawab hal tersebut dengan di buatnya Rusun atau Rumah Susun untuk penyelesaian keterbatasan lahan bagi pemukiman. Lagipula kita juga dapat bercocok tanam dengan cara hidroponik atau aeroponik(walau belum bisa diterapkan untuk semua tanaman) namun seharusnya kita dapat mengurangi aktivitas pembukaan lahan dengan menebang pohon.
Selanjutnya, pendapat saya tentang pembukaan lahan dengan membakar hutan adalah tidak setuju. Alasannya sama dengan alasan diatas, bahkan lebih parah karena pembukaan lahan dengan membakar hutan akan memimbulkan akibat yang lebih banyak termasuk kemungkinan akan membunuh manusia atau hewan langka karena kebakaran. Pembukaan lahan dengan membakar hutan juga akan menyebabkan polusi udara dan kabut. Permasalah ini juga akan memicu resiko kecelakan bermotor, sulitnya beraktifitas, sesak napas, dan berbagai penyakit yang menyerang saluran pernapasan. Jadi kesimpulan yang dapat saya sampaikan adalah bahwa seharusnya pembukaan lahan dengan penebangan pohon ataupun pembakaran hutan tidak lagi di butuhkan jika masih ada alternatif lain yang lebih bijaksana dan tidak menyebabkan akibat negatif bagi kehidupan kita. Berbeda dengan manusia purba zaman dahulu, kita sekarang sebagai orang berpendidikan yang tentu akan memlih jalan terbaik yang tidak akan menyebabkan masalah bersama untuk manusia dan tidak mengambil jalan pintas.
Pola tempat tinggal dengan bercocok tanam berhubungan erat. Setelah peralihan zaman Mesolitikum ke Neolitikum menandakan adanya revolusi kebudayaan dari food gathering ke food producing dengan Homo sapien sebagai pendukungnya. Saat mulai bercocok tanam, mereka mulai mencoba memiliki tempat tinggal. Adapun, pola tempat tinggal dengan dengan bercocok tanaman adalah sebagai berikut. Manusia purba yang tinggal di dataran bercocok tanam padi. Yang tinggal di lahan miring landai bersawah, berkebun (teh, kopi, dsb). Yang tinggal di lahan miring berkebun sayur. Yang tinggal di lahan terjal  berkebun tanaman keras / tahunan (kelawa sakit, dsb). Yang tinggal di dekat sungai bertanam tanaman buah.
            Berikut adalah alat-alat bercocok tanam pada periode tersebut:
1.     Kapak Lonjong
Kapak lonjong adalah kapak yang berpenampang lonjong, berasal dari  kebudayaan zaman neolitikum.  Permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.
Sebagian besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan warnanya kehitam-hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya diasah hingga tajam. Fungsi kapak lonjong yaitu sebagai cangkul/pacul. Banyak ditemukan di Irian, Seram, Gorong, Tanimbar, Leti, Minahasa dan Serawak.

2.     Kapak Persegi
Kapak persegi. Pada umumnya kapak ini berbentuk memanjang dengan penampangan lintang persegi. Fungsinya tergantung ukuran. Apabila berukuran besar, kapak persegi berfungsi sebagai cangkul dan namanya pun lebih dikenal dengan beliung, sedangkan yang kecil biasa disebut tatah dan berfungsi sebagai alay untuk memahat.  Kapak persegi ditemukan di daerah Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi Dan Kalimantan.

3.     Flakes
Flakes berupa alat alat kecil terbuat dari batu yang disebut dengan flakes atau alat serpih. Flakes selain terbuat dari batu biasa juga ada yang dibuat dari batu-batu indah berwarna seperti calsedon. Berfungsi sebagai alat untuk menguliti hewan buruannya, mengiris daging atau memotong umbi-umbian. Ditemukan di Sangiran, Pacitan, Gombong, Parigi, Jampang Kulon, Ngandong (Jawa), Lahat (Sumatera), Batturing (Sumbawa), Cabbenge (Sulawesi), Wangka, Soa, Mangeruda (Flores).

Manusia purba banyak tinggal di tepi sungai karena air sungai memberikan banyak manfaat dan merupakan kebutuhan pokok manusia. Bukan hanya dibutuhkan manusia, tapi air juga dibutuhkan tumbuhan dan binatang, ketersedian air di sungai mengundang hadirnya binatang untuk hidup disekitarnya dan juga memberkan kesuburan pada tumbuhan. Tumbuhan dan binatang inilah yang juga menjadi sumber makanan manusia purba sehinga mereka memilih tinggal di dekat sungai untuk memenuhi kebutuhannya. Alasan lainnya adalah karena keberadaan air juga dimanfaatkan manusia sebagai sarana penghubung, melalu sungai inilah manusia purba dapat melakukan mobilitas atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari suatu tempat ke tempat lainnya.
Pola nomaden manusia purba yaitu pola berpindah pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain saat manusia purba tersebut merasa di tempat tersebut mulai berkurang sumber bahan makanan. Biasanya manusia purba mencari lingkungan dekat sungai, danau, atau sumber air lainnya.
Manusia purba juga memasuki fase bertempat tinggal sementara, misalnya di gua karena gua merupakan tempat yang hangat dan baik untuk perlindungan dari cuaca, hewan buas dan ancaman lainnya karena mereka bertempat tinggal di tempat yang mereka rasa aman, dekat dengan bahan makanan.
Manusia purba memilih tinggal di tepi pantai karena pantai dekat dengan sumber makanan dan air. Biasanya di pantai juga terdapat goa-goa yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat tinggal dan  jauh dari binatang (darat) yang buas.
Kaitan antara manusia yang sudah bertempat tinggal tetap dengan adanya sistem kepercayaan adalah setelah mereka bertempat tinggal tetap, mereka menyadari adanya kehidupan setelah mati. Sistem kepercayaan itulah yang telah melahirkan tradisi megalitik mereka mendirikan batu-batu besar seperti dolmen, punden berundak dan sarkofagus. Mereka sadar adanya kekuatan lain yang maha kuat diluar dirinya, kepercayaan kehidupan setelah mati setelah mati. Kepercayaan yang berkembang saat itu adalah kepercayaan animisme (kepercayaan memuja roh nenek moyang), dan dinamisme (kepercayaan kepada benda-benda tertentu yang memiliki kekuatan gaib).
Sistem kepercayaan masyarakat juga berhubungan dengan pola mata pencaharian. Seiring perkembangan pelayaran, masyarakat zaman praaksara akhir juga mulai mengenal sedekah laut. Sudah barang tentu kegiatan upacara ini lebih banyak dikembangkan di kalangan nelayan. Bentuknya mungkin semacam selamatan apabila berlayar jauh atau mungkin saat pembuatan perahu.
Tradisi megalitik yang masih tersisa contohnya adalah sedekah laut. Sedekah laut merupakan bagian ritual yang pada saat ini yang masih tertinggal dalam lingkup keberlangsungan hidup nelayan. Ritual sedekah laut sangat kental terasa di wilayah Jawa khususnya Pantai Selatan Jawa. Ritual sedekah laut dikenal pada masyarakat awam Jawa dengan definisi pemberian macam-macam sesaji kepada yang mbau rekso atau yang menguasai laut selatan yang dikenal dengan sebutan kanjeng ratu kidul, sebagai bentuk rasa syukur (berterima kasih) atas rejeki laut dan keselamatan yang telah diterima saat melaut.

 Di daerah Cirebon dan Cilacap tradisi sedekah laut diadakan setiap setahun sekali yaitu pada bulan Sura (nama salah satu bulan pada tanggalan jawa) atau Muharam (nama salah satu bulan pada tanggalan islam) bertepatan dengan hari Jum’at kliwon atau Selasa kliwon.

TEORI MASUK DAN BERKEMBANGNYA AGAMA DAN KEBUDAYAAN HINDU BUDHA KE INDONESIA

Jalur Perdagangan India-Cina melalui Indonesia
Wilayah Indonesia terdiri atas pulau besar dan kecil yang dihubungkan oleh selat dan laut merupakan lalu lintas utama penghubung antarpulau. Pelayaran ini dilakukan dalam rangka mendorong aktivitas perdagangan. Pelayaran perdagangan yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan di Indonesia bukan hanya dalam wilayah Indonesia saja, tetapi telah jauh sampai ke luar wilayah Indonesia. Posisi Indonesia yang strategis di tengah-tengah jalur hubungan dagang Cina dengan Romawi, maka terjadilah hubungan dagang antara kerajaan-kerajaan di Indonesia dan Cina beserta India.

Penyiaran Agama Hindu di Indonesia Proses masuknya agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh kaum pedagang, baik pedagang India yang datang ke Indonesia maupun pedagang dari wilayah Indonesia yang berlayar ke India. Akan tetapi, di lain pihak terdapat beberapa teori yang berbeda tentang penye-baran agama Hindu ke Indonesia. Pendapat atau teori tersebut di antaranya:

1. Teori Sudra, menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India yang berkasta Sudra, karena mereka dianggap sebagai orang-orang buangan.
2. Teori Waisya, menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India berkasta Waisya, karena mereka terdiri atas para pedagang yang datang dan kemudian menetap di salah satu wilayah di Indonesia. Bahkan banyak di antara pedagang itu yang menikah dengan wanita setempat.
3. Teori Ksatria, menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India berkasta Ksatria. Hal ini disebabkan terjadi kekacauan politik di India, sehingga para ksatria yang kalah melarikan diri ke Indonesia. Mereka lalu mendirikan kerajaan-kerajaan dan menyebarkan agama Hindu.
4. Teori Brahmana, menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu dilakukan oleh kaum Brahmana. Kedatangan mereka ke Indonesia untuk memenuhi undangan kepala suku yang tertarik dengan agama Hindu. Kaum Brah¬mana yang datang ke Indonesia inilah yang mengajarkan agama Hindu kepada masyarakat.
PERKEMBANGAN AGAMA DAN KEBUDAYAAN HINDU-BUDDHA DI INDONESIA
Tersebarnya pengaruh Hindu dan Buddha di Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Perubahan-perubahan itu terlihat dengan jelas pada kehidupan masyarakat Indonesia di berbagai daerah di Indonesia.

1. Fakta tentang Proses Interaksi Masyarakat di Berbagai Daerah dengan Tradisi Hindu-Buddha
Munculnya pengaruh Hindu-Buddha (India) di Indonesia sangat besar dan dapat terlihat melalui beberapa hal seperti:

a. Seni Bangunan
Seni bangunan yang menjadi bukti berkembangnya pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia pada bangunan Candi. Candi Hindu maupun Candi Buddha yang ditemukan di Sumatera, Jawa dan Bali pada dasarnya meru¬pakan perwujudan akulturasi budaya lokal dengan bangsa India. Pola dasar candi merupakan perkembangan dari zaman prasejarah tradisi megalitikum, yaitu bangunan punden berundak yang mendapat pengaruh Hindu-Buddha, sehingga menjadi wujud candi, seperti Candi Borobudur.

b. Seni Rupa/Seni Lukis
Unsur seni rupa atau seni lukis India telah masuk ke Indonesia. Hal ini terbukti dengan telah ditemukannya area Buddha berlanggam Gandara di kota Bangun, Kutai. Juga patung Buddha berlanggam Amarawati ditemu-kan di Sikendeng (Sulawesi Selatan). Seni rupa India pada Candi Borobudur ada pada relief-relief ceritera Sang Buddha Gautama. Relief pada Candi Borobudur pada umumnya lebih menunjukkan suasana alam Indonesia, terlihat dengan adanya lukisan rumah panggung dan hiasan burung merpati. Di samping itu, juga terdapat hiasan perahu bercadik. Lukisan-lukisan tersebut merupakan lukisan asli Indonesia, karena lukisan seperti itu tidak pernah ditemukan pada candi-candi yang ada di India. Juga relief Candi Prambanan yang memuat cerita Ramayana.

c. Seni Sastra
Seni sastra India turut memberi corak dalam seni sastra Indonesia. Bahasa Sanskerta sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan sastra Indonesia. Prasasti-prasasti awal menunjukkan pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia, seperti yang ditemukan di Kalimantan Timur, Sriwijaya, Jawa Barat, Jawa Tengah. Prasasti itu ditulis dalam bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa.

d. Kalender
Diadopsinya sistem kalender atau penanggalan India di Indonesia merupakan wujud dari akulturasi, yaitu dengan penggunaan tahun Saka. Di samping itu, juga ditemukan Candra Sangkala atau kronogram dalam usaha memperingati peristiwa dengan tahun atau kalender Saka. Candra Sangkala adalah angka huruf berupa susunan kalimat/ gambaran kata. Bila berupa gambar harus dapat diartikan ke dalam bentuk kalimat.

e. Kepercayaan dan Filsafat
Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha ke Indonesia, bangsa Indonesia telah mengenal dan memiliki kepercayaan, yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang. Kepercayaannya itu bersifat animisme dan dinamisme. Kemudian, masuknya pengaruh Hindu-Buddha, ke Indonesia mengakibatkan terjadinya akulturasi. Masuk dan berkembangnya pengaruh terutama terlihat dari segi pemujaan terhadap roh nenek moyang dan pemujaan dewa-dewa alam.

f . Pemerintahan

Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha, bangsa Indonesia telah mengenal sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan kepala suku berlangsung secara demokratis, yaitu salah seorang kepala suku merupakan pemimpin yang dipilih dari kelompok sukunya, karena memiliki kelebihan dari anggota kelornpok suku lainnya. Akan tetapi, setelah masuknya pengaruh Hindu-Buddha, tata pemerintahan disesuaikan dengan sistem kepala pemerintahan yang berkembang di India. Seorang kepala pemerintahan bukan lagi seorang kepala suku, melainkan seorang raja, yang memerintah wilayah kerajaannya secara turun-temurun (Bukan lagi ditentukan oleh kemampuan, melainkan oleh keturunan).