Dia berlalu.
Seperti yang lain. Yang enggan menunggu atau malas untuk berjuang.
Menyerah pada ketidak acuhanku pada sikap mereka.
Jengah pada pesan – pesan teks yang kubalas dengan singkat dan interval waktu lama. Cukup lama hingga mereka memutuskan untuk berpaling dan menemukan yang lain. Yang bisa menerima mereka dengan tangan terbuka dan membuat mereka bahagia.
Ah, selalu begitu.
Kalau diingat – ingat, ia bukan lagi yang bisa kuhitung dengan jari tangan lagi. Ia sudah yang kesekian kalinya.
Sementara pertanyaan – pertanyaan mendesak untuk mulai memiliki komitmen dengan pasangan hidup sudah mulai bergema di sekelilingku. Mereka berpendapat bahwa sudah sewajarnya seusaiku memiliki seseorang yang dapat kupanggil ‘sayang’ dengan mesra atau kuberikan setulusnya cinta.
Aku pun ingin begitu, kilahku, saat Mama mencoba mengungkit kisah lama untuk dihubungkan dengan ini. Tapi, kamu masih belum bisa lupa sama Hari bukan? Tanyanya. Oh, kenapa nama itu lagi yang mesti disebutnya. Perlu sepuluh menit mengulang kalimat ‘Enggak Ma, demi Tuhan, bukan lagi karena Hari.’ Jadi, dulu karena dia kan? Balas Mama. Aku hanya diam dan kembali menekuni bukuku.
Aku bisa saja menjelaskan rasa cemas dan gundah diri pada Mama. Namun, kupilih untuk menutup mulut rapat – rapat dan menyimpannya untuk diriku sendiri. Ini kekusutan. Sangat kusut melebihi benang wol Mama yang dimainkan oleh Kiti, si kucing tetangga. Kekusutan ini, hanyalah aku yang dapat mengurainya. Dan, ini butuh waktu.
Waktu yang sangat lama. Hingga tanpa aku sadari, tembok – tembok yang tak sengaja kubangun agar jiwaku berada aman di dalamnya menjadi terlalu tebal dan tinggi. Dan setiap kali aku berusaha untuk membuat pintu agar mereka dapat masuk, selalu saja pikiran – pikiran tentang masa depan menghantuiku.
Bagaimana bila… pertanyaan – pertanyaan yang menggangguku selalu dimulai dari ini.
Bagaimana bila nanti aku kecewa lagi?
Bagaimana bila logikaku lumpuh dan aku tunduk pada cinta?
Bagaimana bila aku menjadi kurang menarik di matanya?
Bagaimana bila semua kata manisnya berubah?
Bagaimana bila Mama tidak menyukainya?
Bagaimana bila ia menuntutku banyak?
Bagaimana bila ternyata dia hanyalah seorang pecundang?
Bagaimana bila justru aku yang pecundang karena terlalu berpikir banyak dan dia berpaling dariku?
Perihal cinta, kenapa berpikir terlalu berat? Kenapa tidak dijalani dulu saja? Kenapa tidak mau mengenal dan langsung berpikir begitu? Pertanyaan - pertanyaan tak berdasar itu selalu balas kutepis dengan ‘Kenapa’. Namun, tak jua kutemui jawaban yang membuat tenang.
Mereka bilang, cinta tak usah dipikir berat.
Cinta itu membuat bahagia, bukan derita.
Berbekal penggalan kalimat ini, aku berusaha keras agar dapat memberi celah sebelum membukakan pintu kembali. Walau pun, hingga kini itu belum berhasil. Satu persatu mereka pergi dan merasa enggan untuk sekedar mengetuk kembali. Dan aku tak merasa kehilangan. Sesuatu yang aku syukuri dengan adanya tembok dalam diri.