Sebuah cerita antara logika dan hati.
Aku menghela nafas panjang. Hati harus disadarkan. Bodoh sekali dia!
"Ti, kali ini kamu harus dengarkan aku!"
"Aku selalu mendengarkan kamu kok, Ka," Hati memandangku lekat-lekat.
Aku menggeleng. Mencoba menyadarkan Hati dari kebodohannya
memang rumit. Berkali-kali kucoba, berkali-kali pula ia dengan sukarela
mengingkari janjinya untuk menurut padaku.
"Begini, Ti. Jangan sela aku dulu kali ini. Kamu bilang aku
penakut. Salah. Aku bukan takut. Aku mencintai diriku sendiri. Itu
intinya. Satu kali sakit sudah cukup bagiku untuk menjauhi lubang itu.
Lubang yang justru terus menerus kamu dekati, kamu intip, dan mencoba
mencari jalan masuk yang benar. Tapi apa jadinya? Kamu terperosok lagi
dan lagi. Bahkan lebih dalam dan lebih sakit," aku berhenti sejenak.
Memperhatikan reaksinya.
Si bodoh ini masih saja tersenyum penuh arti.
"Bukan begitu, Ka…"
"Aku bilang jangan sela aku dulu. Aku belum selesai. Kamu
butuh benteng, Ti. Aku tahu kamu kuat, aku tahu kamu berani, tapi sampai
kapan kamu akan bertahan? Sampai kapan kamu akan membiarkan tubuhmu
penuh dengan luka yang sebenarnya tidak seharusnya kamu dapatkan? Luka
yang satu baru saja kering, sudah ada luka baru. Lebih dalam, pula.
Sampai kapan?" tudingku gemas.
"Sampai aku menemukan seseorang yang bisa menjadi obat
untuk semuanya, Ka. Yang bisa menerima dengan tangan terbuka tubuhku
yang penuh luka, menjaganya, dan membawaku menjauhi lubang itu!"
suaranya mulai meninggi kali ini.
"Lalu apa salahnya menunggu? Kamu lihat aku? Aku terkesan
sendirian, kaku, dan tidak bahagia? Kamu salah. Aku menunggu. Dan itu
caraku untuk menjaga diriku. Caraku untuk bahagia."
Hati tergelak. “Lalu darimana kamu akan tahu kapan kamu
harus berhenti menunggu? Ayolah, Ka. Keluar dari selubungmu, dobrak
sendiri dinding pelapismu!”
"Ti, cobalah realistis! Hanya orang bodoh yang membiarkan
dirinya jatuh pada kesalahan yang SAMA berulang kali. Yang sama, Ti.
Cintai dirimu sendiri!" kali ini aku mengguncang-guncang bahunya dan
berharap kebodohannya rontok satu demi satu.
Hati menepis tanganku. Herannya, senyum di wajahnya tidak juga menghilang.
"Sudah kubilang, itu caraku untuk bahagia, Ka. Yang
membuatku merasa hidup. Hidup ini hanya sekali, Logika. Beri kesempatan
dirimu untuk merasa sakit dan belajar."
"Masalahnya, Hati, kamu sudah terlalu lama belajar. Sekarang saatnya kamu bahagia dengan hidupmu!"
"Masalahnya, aku kan bodoh, Logika. Seperti katamu. Mungkin
waktuku untuk belajar akan lebih lama dari kamu. Bahkan mungkin seumur
hidup."
Aku menatapnya tak percaya. Sahabatku ini memang sudah gila.
source: tumblr