Thursday, 30 January 2014

Cerpen: Bodoh (Jatuh #5)

Sebuah cerita antara logika dan hati.

Aku menghela nafas panjang. Hati harus disadarkan. Bodoh sekali dia!

"Ti, kali ini kamu harus dengarkan aku!"

"Aku selalu mendengarkan kamu kok, Ka," Hati memandangku lekat-lekat.

Aku menggeleng. Mencoba menyadarkan Hati dari kebodohannya memang rumit. Berkali-kali kucoba, berkali-kali pula ia dengan sukarela mengingkari janjinya untuk menurut padaku.

"Begini, Ti. Jangan sela aku dulu kali ini. Kamu bilang aku penakut. Salah. Aku bukan takut. Aku mencintai diriku sendiri. Itu intinya. Satu kali sakit sudah cukup bagiku untuk menjauhi lubang itu. Lubang yang justru terus menerus kamu dekati, kamu intip, dan mencoba mencari jalan masuk yang benar. Tapi apa jadinya? Kamu terperosok lagi dan lagi. Bahkan lebih dalam dan lebih sakit," aku berhenti sejenak. Memperhatikan reaksinya.

Si bodoh ini masih saja tersenyum penuh arti.

"Bukan begitu, Ka…"

"Aku bilang jangan sela aku dulu. Aku belum selesai. Kamu butuh benteng, Ti. Aku tahu kamu kuat, aku tahu kamu berani, tapi sampai kapan kamu akan bertahan? Sampai kapan kamu akan membiarkan tubuhmu penuh dengan luka yang sebenarnya tidak seharusnya kamu dapatkan? Luka yang satu baru saja kering, sudah ada luka baru. Lebih dalam, pula. Sampai kapan?" tudingku gemas.

"Sampai aku menemukan seseorang yang bisa menjadi obat untuk semuanya, Ka. Yang bisa menerima dengan tangan terbuka tubuhku yang penuh luka, menjaganya, dan membawaku menjauhi lubang itu!" suaranya mulai meninggi kali ini.

"Lalu apa salahnya menunggu? Kamu lihat aku? Aku terkesan sendirian, kaku, dan tidak bahagia? Kamu salah. Aku menunggu. Dan itu caraku untuk menjaga diriku. Caraku untuk bahagia."

Hati tergelak. “Lalu darimana kamu akan tahu kapan kamu harus berhenti menunggu? Ayolah, Ka. Keluar dari selubungmu, dobrak sendiri dinding pelapismu!”

"Ti, cobalah realistis! Hanya orang bodoh yang membiarkan dirinya jatuh pada kesalahan yang SAMA berulang kali. Yang sama, Ti. Cintai dirimu sendiri!" kali ini aku mengguncang-guncang bahunya dan berharap kebodohannya rontok satu demi satu.

Hati menepis tanganku. Herannya, senyum di wajahnya tidak juga menghilang.

"Sudah kubilang, itu caraku untuk bahagia, Ka. Yang membuatku merasa hidup. Hidup ini hanya sekali, Logika. Beri kesempatan dirimu untuk merasa sakit dan belajar."

"Masalahnya, Hati, kamu sudah terlalu lama belajar. Sekarang saatnya kamu bahagia dengan hidupmu!"

"Masalahnya, aku kan bodoh, Logika. Seperti katamu. Mungkin waktuku untuk belajar akan lebih lama dari kamu. Bahkan mungkin seumur hidup."

Aku menatapnya tak percaya. Sahabatku ini memang sudah gila.


source: tumblr
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment