Ada selembar kertas putih kosong, lalu kita tulis dengan sebuah cerita panjang tentang kita. Cerita di mana aku dan kau jadi tokoh utamanya, dan di mana aku dan kau bergantian berdialog.
Kisahnya begitu indah. Aku selalu tak sabar untuk menulisnya bersamamu. Hingga pada suatu hari, kau menuliskan nama orang lain untuk menjadi bagian dari dialog kita. Menjadi topik dari tulisan kita. Kau melakukannya terus menerus. Tiap kali kau menorehkan namanya, menceritakan dia, seakan tinta hitam menodai kertas kita. Teganya dirimu. Bukankah kita tokoh utamanya? Namun kau menjadikannya tokoh utama yang ketiga.
Kisahnya begitu indah. Aku selalu tak sabar untuk menulisnya bersamamu. Hingga pada suatu hari, kau menuliskan nama orang lain untuk menjadi bagian dari dialog kita. Menjadi topik dari tulisan kita. Kau melakukannya terus menerus. Tiap kali kau menorehkan namanya, menceritakan dia, seakan tinta hitam menodai kertas kita. Teganya dirimu. Bukankah kita tokoh utamanya? Namun kau menjadikannya tokoh utama yang ketiga.
Bodohnya aku. Aku membiarkan kertas itu dipenuhi cerita orang lain. Aku sudah memberimu kesempatan. Namun apa daya yang kudapat? Sakit hati yang membekas tak kunjung hilang. Perlahan kertas itu pun robek. Kau dan dia membuat kertas itu robek menjadi delapan belas bagian. Hatiku hancur. Aku menangis, namun kau tak pernah tahu.
Dan malam ini, ketika bulan menyinari cahayanya, ketika kilau matahari telah lenyap, aku mendapatimu sedang berlutut di lantai, memunguti robekan- robekan kertas tadi, menangis dan mencoba menyatukan ulang mereka dengan selotip bening yang kau bawa.
Kau melihat aku sedang menatapmu. Kau meminta maaf. Kau bilang kau khilaf dan tak sadar kala itu. Kau meminta kertas baru. Memintaku untuk menulis cerita baru bersamamu dari awal.
Aku hanya dapat menjawab,
"Aku hanya punya satu cerita, dan ia terhampar di depan matamu. Dan bila aku punya kertas yang lain, aku takkan membiarkannya terisi dengan kisah yang sama. Walaupun kertas- kertas itu bisa disatukan dengan selotip, robeknya tetap tidak bisa hilang. Inilah akhir kisah kita."
"Tapi aku masih mencintaimu. Aku menyayangimu."
"Benarkah? Omong kosong."
"Tidak, aku sangat mencintaimu. Berilah aku kesempatan menulis ulang kisah kita, berikan aku kesempatan untuk memperbaiki cerita kita."
"Kesempatan telah kuberikan. Namun semuanya sia-sia. Untuk apa aku mempertaruhkan kertas baru pada seseorang yang hanya berbakat untuk merusaknya?"
Kau terus berkata bahwa hanya aku yang kau sayang. Hanya aku yang ada di hatimu. Tapi semuanya dusta. Jika hal itu benar, pastilah kau takkan memenuhi kertas kita dengan segalanya tentang dia. Akan tetapi, aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Aku terlanjur mencintaimu. Aku tak mampu membenci dirimu. Aku jatuh cinta, itulah alasan kenapa aku selalu mengingatmu meskipun kau telah menyakiti hatiku. Namun keputusanku telah bulat. Aku akan membiarkan kau pergi.
"Aku mencintaimu. Tapi aku tak mau ambil resiko lagi. Kita memang tak bisa bersama, tetapi kau akan slalu ada di hatiku. Kau takkan terlupakan. Simpanlah empat robekan kertas ini. Aku juga akan menyimpan keempat robekan lainnya. Sisanya biarlah musnah dalam api. Kau akan selalu menjadi harmoni yang kurindukan."
Kini akhirnya kau sadar. Penyesalan datang di akhir. Kesalahan tak bisa dihapus. Kisah tak bisa diulang. Namun kenangan akan selalu ada.
Dan aku tak mau kembali.